Kamis, 28 Agustus 2014

Tadinya.. (Hingga Melepaskan)



Tadinya kita sudah merencanakannya. Soal bagaimana konsep pernikahan kita nanti. Soal nanti akad nikah akan dilangsungkan dimana,jam berapa,tanggal berapa bahkan juga konsep resepsinya juga sudah di-de-ta-il serinci mungkin. Agar nanti menjelang hari H, tiga bulan lagi semuanya bisa berjalan sesuai planing kita bedua.
Tadinya kita sudah merencakannya. Soal nanti model kebaya apa yang akan aku kenakan di tiga bulan mendatang. Tentang berapa banyak undangan pernikahan kita yang akan disebarkan juga sudah kita sepakati bersama. Ya,semuanya sudah diatur sebaik mungkin sampai-sampai katamu, “Coba sayang diingat-ingat kembali apa yang harus dipersiapkan” Tapi kataku semuanya sudah lebih dari cukup, tinggal dimana kita menunggu hari H-nya saja di bulan Agustus mendatang.

Dan Tadinya juga kita sudah sama-sama merencanakannya dan menyepakatinya bahwa setelah sah menjadi sepasang suami istri yang halal dimata Allah, kamu juga aku berjanji akan membawa rumah tangga kita menjadi rumah tangga yang selalu dirahmati Allah. Kamu akan pulang tepat waktu setelah selesai bekerja,kamu yang katamu akan menjadi suami juga ayah yang terbaik untuk anak-anak kita nanti. Ya, janjimu seperti itu yang tadinya selalu membuat denyutan jantungku berdetak tak beraturan, yang selalu membuat hariku dimabuk kasmaran yang luar biasa bahagianya.

Sampai pada dimana hari itu tiba. Hari dimana yang membuat segalanya berhenti sampai disini. Hari dimana segala rencana kedepan kita buyar termakan kesalahanmu sendiri. Hari dimana yang membuat segala kepercayaanku tentangmu lenyap termakan satu kesalahanmu yang sungguh tak bisa ku maafkan. Satu hari dimana aku yang sudah sungguh sangat yakin akan kamu yang kan menjadi imamku,menjadi ayah untuk anak-anakku,menjadi teman hidupku habis terbawa segala kebohonganmu sendiri.

Sejak saat itu kita berpisah. Aku memilih menyelamatkan hatiku sendiri dari pada memilih untuk mempertahankanmu. Dan dua bulan terakhir kita tanpa komunikasi. Akupun sendiri tak tahu tentang bagaimana keadaanmu sekarang. Dan di dua bulan terpanjang ini aku juga mencoba untuk memaafkan segala apa yang menjadi kesalahanmu sendiri. Karena kata mereka, salah satu cara untuk menghapus luka ialah berdamai dengan sakit,lukanya sendiri. Ya, aku melakukannya secara sendiri. Berdamai dengan rasa sakitku sendiri. Berupaya mengikhlaskan segalanya yang sudah terlanjur terjadi. Mengikhlaskan rencana pernikahan kita di bulan ini. Mengikhlaskan kamu untuk lebih berbahagia lagi dengan siapapun yang menjadi pilihanmu.

Hingga hari itu tiba, hari dimana Allah sudah begitu sangat yakin dengan keikhlasan hatiku dan kabar itu tiba bahwa kamu akan segera menikah. Bukan menikah denganku, tapi menikah dengan ia sosok wanita pilihanmu yang katamu dirinya lebih bisa mengerti jalan hidupmu. Ya, kabar itu tiba. Kamu akan segera melangsungkan pernikahan ditanggal dan bulan yang pernah kita tentukan bersama (tiga bulan yang lalu).

Lalu yang kulakukan saat mendengar kabar itu,hanya berupaya menghapus cucuran air mata yang jatuh secara tak sengaja. Ini bukan soal air mata bahwa aku cemburu atas kabar bahagia ini. Bukan soal aku marah karena kamu mengkhianati segala rencana kita dulu. Bukan juga soal aku membenci Sang Illahi karena tidak menjodohkan kita berdua. Tidak. Bukan soal itu.
Tapi ini soal dimana dasar dalam hatiku merasa begitu teramat sangat bahagia juga terharu atas kabar bahagia ini. Allah begitu maha pengasih hingga Ia bisa menciptakan rasa senyaman dan setenang ini dihatiku. Karena jika hal ini dialami wanita lain,aku pun sendiri tak sanggup membayangkan bagaimana rapuh dan sakitnya mereka.

Kamu berbahagialah sekarang dengan dirinya yang sudah digariskan Allah untukmu. Kita memang pernah berencana begitu semangatnya akan masa depan kita sampai berpikir bahwa inilah yang paling terbaik tanpa pernah tahu bahwa, “Apa yang menurut kita baik belum tentu pula yang terbaik bagi Allah”.
Aku sudah begitu sangat ikhlas melepaskan segalanya. Melepaskan dulu yang pernah kita sepakati bersama. Sebab cinta dan mencintai itu definisinya luas. Bukan Cuma kita memaksa agar orang yang kita cintai tetap selalu bersama tapi bagaimana juga kita ikhlas melepaskan orang yang kita cintai untuk berbahagia menurut pilihannya.

Jadi kamu berbahagialah. Semoga Ia yang Maha Pengasih juga Penuh Cinta selalu mengarungi perjalanan kehidupanmu.

Selasa, 19 Agustus 2014

Bayangkan,Rasakan..



Coba kamu bayangkan ini, bagaimana rasanya menjadi aku yang masih berusaha mempertahankan rumah tangga kita tapi yang kamu lakukan malah menyuruhku untuk menyerah saja atas apa yang sudah kita perjuangkan selama 10 tahun lebih ini. 

Coba kamu bayangkan,rasakan bagaimana rasanya menjadi hatiku yang harus menahan pedihnya hati saat kedua anak kita terus bertanya “Ibu dimana Ayah ?”. Lalu untuk kesekian kalinya aku harus membohongi hatiku dan menyakinkan kedua buah cinta kita dengan jawaban bahwa semuanya kan baik-baik saja. 

Coba kamu bayangkan,rasakan bagaimana rasanya menjadi jiwaku yang sudah lebih dari tiga bulan terakhir  ini seperti Pria bodoh yang mencari keberadaanmu untuk balik pulang kerumah bersamaku. Coba kamu bayangkan,rasakan sedikit saja.

Coba kamu bayangkan,rasakan bagaimana dulu perjuang kita berdua agar bisa menjadi sepasang suami istri. Membangun rumah tangga sejak gaji perbulanku masih berkisar sejuta untuk satu bulan. Lalu kamu menerima segala kekuranganku, meninggalkan segala fasilitas  mewahmu juga mengabaikan larangan kedua orang tuamu untuk hidup bersamaku di tengah kondisi keuanganku tak selayak dengan ekonomi keluargamu.

Coba kamu bayangkan,rasakan kembali bagaimana dulunya kita sama-sama saling menguatkan bahwa kita kan tetap selalu bersama apapun yang terjadi. Aku yang pagi,siang,malam bekerja keras untuk keluarga kita demi membuktikan kepada keluargamu bahwa aku bisa menafkahimu lahir dan batin.

Coba kamu bayangkan, rasakan bagaimana dulu aku begitu yakin terhadapmu bahwa kamu tak’an pernah meninggalkanku,aku pula tak meninggalkanmu dan kita sama-sama sepakat untuk tidak saling menyakiti ataupun melepaskan.

Coba kamu bayangkan, rasakan sedikit saja.

Jika bukan aku lagi alasanmu kembali lagi ke rumah ini, setidaknya kamu bisa memakai alasan “untuk kedua anak kita” sebagai jalanmu untuk kembali pulang.

Aku kan menerimamu dengan ikhlas. Tanpa mempermasalakan segala fitnah yang memberitakan bahwa kamu sudah hidup seatap dengan salah seorang pejabat muda itu.
Pulanglah, bukan untukku tapi untuk anak kita. Aku juga kan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi seperti yang kamu inginkan. Aku juga tidak kan menyalahkanmu dalam hal ini. 
Hanya cukup sedikit kamu bayangkan saja, rasakan saja bagaimana rasanya menjadi aku,hatiku.

Tapi jika tidak bisa untuk kamu bayangkan atau rasa saja tak mengapa. Aku mengerti.



*fiksi ini terinspirasi dari lagunya Maudy Ayunda-Bayangkan Rasakan*

Rabu, 06 Agustus 2014

Menit-menit terakhir (Melepaskanmu)

Ini menit-menit terakhir aku melepaskanmu. Membuang habis semua tentangmu yang setahuku juga pendapat orang-orang di sekitarku, bahwa kamu tak pantas untuk ku-per-juang-kan selama ini.
Dulu kita pernah sama-sama melakukan kesalahan. Aku memaafkanmu, kamu juga memaafkanku. Dulu juga kita selalu saja saling mendukung hal terbaik apapun yang kita lakukan. Baik itu dilakukan secara bersama ataupun sebaliknya.
Dulu juga kita bukan hanya menjadi sepasang pasangan tapi menjadi sepasang sahabat yang dimana segala keluh,kesah bahkan bahagiapun sama-sama selalu kita berbagi bersama.

Ya, itu dulu. Tiga tahun terakhir sebelum kita sama-sama memutuskan untuk saling berpisah tiga bulan yang lalu.

Entah siapa yang harus disalahkan juga siapa yang harus duluan meminta maaf. Pada intinya alasan pertama kita berpisah karena kamu sebagai pria tidak begitu tegas untuk menentukan sikap dan keputusan soal kapan kita akan menikah! Dan katamu, salahku dari menurut analisamu; aku tidak bisa menunggumu, tidak bisa kerja sama denganmu, tidak dewasa dan tidak bisa berjuang untuk hubungan kita. Lalu menurutmu, apa selama kurang lebih tiga tahun aku bersamamu bukankah itu alasan bahwa selama itu aku menunggumu ? bukankah itu termasuk alasan yang penting aku menemanimu tumbuh menjadi pribadi yang seperti sekarang ini ? lalu katamu aku tidak berjuang ? KETERLALUAN!

Aku bodoh (saat itu). Mengharapkan seorang pria yang tak tegas sepertimu. Yang untuk memilih satu hati saja susah kamu lakukan apalagi untuk memilih pasangan hidupmu.
Aku bodoh (saat itu). Yang terus saja menangis dimasalah yang sama. Yang terus saja mengharapkanmu juga terus menyakinkan hatiku sendiri bahwa tak ada pria lain lagi selainmu.
Aku bodoh (saat itu). Yang terus membujukmu untuk kembali pulang ke rumahku (hatiku) tanpa berpikir caraku ini terkesan begitu murahan.
Aku bodoh (saat itu). Yang menentang keras saran keluargaku untuk berhenti saja mengharapkan pria sepertimu.
Aku bodoh, aku bodoh!! Ya, saat itu aku dibodohi perasaanku sendiri terhadapmu.


Lalu entah karena alasan apa, akupun mengerti apa maksud dari kata ‘menyerah saja’ yang terkhusus untukmu. Akupun paham mengapa kemarin itu Tuhan memberikanku kekecewaan yang besar karena ternyata di luar sana masih banyak lagi yang hatinya jauh melebihi ketulusanmu juga jauh melebihi ketegasanmu untuk tidak membuat Wanita menunggu dalam hubungan yang tak pasti.

Ini menit terakhir aku melepaskanmu. Membuang segala tentangmu. Dan entah demi alasan apapun aku tak lagi harus memintamu untuk kembali pulang.
Sudah cukup. Hatiku sudah terlalu lelah. Aku ingin lebih bahagia lagi dan bukan denganmu tapi dengan hati yang lebih baru lagi. 

Kelak jika Wanitamu itu menyakitimu dan kamu baru menyadari bahwa aku yang paling tulus mencintaimu, jangan mencariku lagi untuk memintaku pulang karena dulu sebelum hal itu terjadi aku sudah duluan menawarkanmu kembali tapi kamu mengabaikannya. Tapi sudahlah. Kamu pasti kan lebih berbahagia sekarang. Lebih bahagia lagi. Dan aku pun memutuskan untuk lebih berbahagia lagi disaat kamu tak harus ada di genggamanku.