Kamis, 30 Oktober 2014

Jatuh Cinta Berkali-kali...



Ini tentang dirinya yang sudah cukup lama aku kencani setelah pernikahanku di 33 tahun yang lalu. Ya, kira-kira selama itu pula aku mengencaninya dengan status “Aku yang sudah menikah”. Semuanya berjalan baik-baik saja, tidak ada komplain buruk sana dan sini ketika mereka tahu aku mengencaninya selama ini. Bahkan situasi didalam rumah selalu baik-baik saja.

Dia cantik,pintar,keibuan,penuh cinta dan yang paling terpenting selama 33 tahun ini ia mencintaiku dengan caranya tersendiri dan itulah alasannya mengapa aku terus mempacarinya setelah aku menikah. Dan tunggu. Dia bukan selingkuhanku tapi dia istriku.

Sejak saling berjanji untuk memutuskan hidup bersama dalam suka dan duka, kita sama-sama sepakat untuk terus berkencan dan saling jatuh cinta untuk setiap harinya seperti awal-awal kita berjumpa dan saling jatuh cinta. Dan kau tahu, rasanya itu membahagiakan. Sungguh.

Aku sendiri lupa kapan terakhir aku memarahinya hanya karena hal sepeleh soal dia yang terlalu kecapean menguras tenaganya untuk mengurusi rumah dan anak-anak. Karena ketika suara kerasku mulai keluar dan senyumannya mulai memudar melawan amarahku, aku bisa apa untuk diam dan luluh kembali ? Cantik. Menenangkan. Itu saja yang bisa ku deskripsikan ketika dirinya mulai mengoda amarahku dengan senyumannya itu.

Sampai sekarang pun aku masih sering mengatakannya cantik. Saat bangun tidur dan sebelum tidur pun aku tak pernah bosan mencium keningnya  berkali-kali hanya untuk memastikan dirinya tak kemana-mana lagi setelah aku sudah sedekat ini dengannya. Saat tubuh sama-sama berbaring di atas ranjang yang sama dan kita saling menceritakan apa yang terjadi seharian, saat aku di kantor dan dirinya yang sibuk mengurusi anak-anak. Kadang ia mengusap-usap pipiku, mencium jidadku dan yang terjadi setelah itu aku hanya seperti anak kecil yang tertidur senyenyak mungkin disampingnya.

Ia juga sering memberikanku kejutan yang unik. Kadang memasakanku makananan yang enak dan membuatkanku kue jika aku sedang mengerjakan beberapa  pekerjaan kantor dirumah. Ia senang sekali mengatur penampilanku ketika aku ingin berangkat ke kantor, ke pesta ataupun kemana saja aku pergi ia selalu saja menjadi desainer cerewet. Dan sekali lagi apa saja yang ia lakukan untukku aku selalu saja menyukainya. Jatuh cinta berkali-kali.

Dan sebagai balasannya, aku senang sekali membawanya ke pesta, ke acara kantor,jalan-jalan, dinner,nonton bioskop, ke pantai dan kemanapun asal bersamanya aku selalu menyukainya. Karena cinta itu menginginkan untuk tetap dekat dan cepat rindu kalau hanya pisah beberapa jam bukan ? dan itu yang selalu aku rasakan di 33 tahun kebersamaan ini.

Dan sekarang, ketika memandang dirinya sedekat ini yang Nampak beberapa garisan keriput dipelipis matanya. Rambutnya yang dulu hitam berkilau sekarang berganti dengan beberapa helaian uban. Tangannya yang dulu halus sekarang terasa kasar (dan ini salah satu efek dimana selama bertahun-tahun ini ia memasak,mengurusi rumah,mencuci pakaianku dan anak-anak). Tapi ketahuilah jauh dari semua yang ada, dia masih terlihat cantik dimataku bahkan lebih cantik daripada pertama kali kita bertemu.

Dan sekarang setelah sudah menua seperti ini, ia masih mau mencintaku meski lima gigiku sudah tanggal. Ia masih mau ikhlas mengurusiku meski sekarang kita berdua hidup lewat gaji pensiunanku. Ia masih mau setia bersamaku meski sekarang fisikku tak sekuat dulu. Dan sampai sekarang jika ada yang bertanya mengapa kita masih saja terus bersama sampai selama ini, alasannya sederhana saja. Karena sejak awal pernikahan kita pun sudah sama-sama sepakat untuk selalu saling jatuh cinta berkali-kali dan itu membahagiakan. Sungguh.

Kamis, 23 Oktober 2014

Kamu cukup dengarkan ini saja bahwa, kita akan bahagia. Sebahagia mungkin semampu yang bisa kulakukan dan sebisa yang kamu pertahankan. 

Ketika semuanya bagimu terasa amat begitu mustahil untuk dilakukan sendiri, tenanglah masih ada aku. Disini. Yang jaraknya tak’an pernah lepas jauh darimu.

Ketika kamu merasa beberapa mimpiku ini terkesan bodoh dan berhalusinasi, ingatlah selalu bahwa ini salah satu dari sekian banyak caraku untuk mempertahankanmu disini. Mempertahankan kita untuk bersama lebih lama selama mungkin. Menjadikanmu satu-satunya Wanita yang menjadi "Rumah ternyamanku".

Ketika kamu berpikir aku akan melepaskan, jangan seperti itu. Tetaplah percaya bahwa aku tidak akan pernah melangkah, selangkah lebih jauh darimu. Kita akan tetap seperti ini, berjalan bersama beriringan hingga kamu pun kan mengerti dengan sendirinya kenapa aku selalu menyebutmu, “Tujuanku”.

Jangan melemah. Aku akan tetap seperti ini. Menjadi sayap pelindungmu. Menjadi yang sama seperti bagaimana pertama kali aku mengejarmu,jatuh hati dan sampai batas dimana kita menua dan bahagia bersama.

Jadi, tutuplah telingamu ketika mereka diluar sana mengusik hubungan ini. Cukup dengarkan hatimu, lalu kamu kan bisa percaya seberapa kerasnya aku mempertahankan “Kita”. Ya, sesederhana itu.



Senin, 20 Oktober 2014

Seharusnya saat itu..



Seharusnya saat itu kamu jangan dulu bergegas pergi. Setidaknya kamu mesti mendegarkanku berbicara lebih banyak lagi agar kamu sendiri bisa paham mengapa aku sampai berjuang sejauh ini dalam hal mempertahankanmu saja.

Seharusnya saat itu juga kamu sedikit saja menurunkan egois  dan amarahmu padaku. Setidaknya saat itu kamu bisa jauh lebih tenang,jauh lebih sabar dan memberikanku waktu sebentar saja untuk menjelaskannya lebih awal.

Tapi pada saat itu kamu seperti orang asing yang baru ku kenal saja. Marah semarah mungkin tanpa sadar itu pantas atau tidak. Saat itu juga kamu tampil seperti seorang pria yang sama sekali tak pantas ku banggakan lagi.

Ya.. saat itu kamu berbeda. Memusuhiku hingga memintaku untuk pergi jauh dari hidupmu.

Aku menuruti maumu bukan karena tak ingin mempertahankan hubungan kita. Tapi ingat saja, jauh sebelum dari semua luka dan sakit hati yang terjadi, aku sudah susah payah mempertahankanmu tapi kamu mau saja melepas diri dan tak ingin untuk kembali pulang.

Hingga sekarang, aku sudah sebahagia ini bersama (ia) yang lebih bisa memahamiku,menerima segala lebih-kekuranganku, mau ikhlas untuk tumbuh bahagia bersamaku kamu malah datang dan memintaku untuk kembali pulang. Dengan alasan masih mencintaiku ?

Terlambat !!!!

Ingat saja,jauh sebelum semua ini terjadi bukankah aku sudah lebih dulu mengingatkanmu untuk menurunkan egois,sama-sama memperbaiki diri dan mulai dari awal lagi ?
Tapi katamu saat itu, “sudah tak ada harapan lagi untuk dipertahankan”

Jadi untuk saat ini pula tak ada salah juga hukuman bagiku kan untuk aku sendiri berkata padamu, “Waktumu sudah habis untuk pulang kembali. Ke sini. hatiku”

Jumat, 17 Oktober 2014

Dan (Selepas hari itu)..



Kapanpun kamu memintaku untuk datang atau sekedar menemanimu, aku selalu saja ‘bisa’ mengabulkannya. Walaupun mungkin ajakanmu biasa saja hanya seperti; menemanimu ke toko buku terdekat, makan siang bersama dicafe dekat kantormu, nonton bioskop atau sekedar duduk santai bersama menikmati terbenamnya senja ditemani dengan secangkir coffee dan mocca floot kesukaanmu.

Aku selalu bisa. Bahkan jika kamu selalu berkata, “Kalau kamu sibuk,tak mengapa nanti saja baru kamu menemaniku” maka kalimat responku selalu saja kalimat ini, “Oh..tak mengapa, ini juga ajakanmu sama sekali tak mengganggu pekerjaanku”.

Dan setelah itu aku ketagihan melakukannya. Lebih sering menyempatkan waktu bersama dan efeknya membuat aku semakin jatuh hati terhadapmu. Hanya sialnya aku ini tak seberani pria-pria diluar sana yang katamu beberapa kali nekat menyatakan cinta meski baru dua hari kenalan.

Dan lebih sialnya lagi kadang pertanyaan becandamu itu tidak cukup baik untuk hatiku yang selemah ini. Kadang-kadang kamu selalu bertingkah lucu (menurutmu) dan sering saja bertanya;

“ mereka saja yang baru mengenaliku sudah berani mati-matian mengejar perhatianku. Sampai rela-rela buang malu untuk menyatakan cinta meski ditolak. Nah kamu? Yang sudah dua tahun ini bersamaku, menemaniku mengelilingi kota ini, tidakkah kamu melakukan hal yang sama seperti mereka?”

Lalu setelah itu yang kamu lakukan hanya tertawa sekeras mungkin. Dan aku, yang kulakukan hanya berpura-pura memalingkan wajahku kearah lain, berusaha ikut tertawa walau kedengarannya kecil agar kamu tahu aku sedang tidak salah tingkah dengan perkataanmu tadi. (Hmm.. kamu selalu saja bercanda sesukamu).

Dan seingatku juga ada beberapa kali kamu menanyakan soal ini kepadaku, 

"Kenapa masih belum punya pacar juga ?”

Dan jawabanku, “Masih belum nemu yang di-mau-in hati” sambil tertawa kecil tanpa menatap wajahmu.

Padahal kamu tak tahu, jika aku bisa sedikit berani berbicara padamu, jika aku sedikit bisa mengungkapkannya padamu, maka aku tak perlu lagi harus menjawab dengan siapa aku harus bersama juga kamu tak perlu bertanya karena jawabannya sudah pasti tentu “kamu”.

Dan kamu juga sempat sekali bertanya soal ini dengan ekspresi wajah yang teramat serius seperti ingin meminta pendapat dariku. Soal pertanyaan;
 
“Kapan kamu punya rencana untuk menikah ?”

“Tergantung! Tak Pasti! Ah.. sudahlah…” jawabku berupaya sedikit terlihat cuek dengan pertanyaanmu ini yang menurutku mulai memancing detakan jantungku yang lajunya kan mulai tak wajar.

Dan responmu kali ini sedikit berbeda. Bukan lagi menertawaiku ataupun jawaban konyol lainnya. Tapi sedikit memarahiku karena (menurutmu), aku salah satu pria yang tak tegas, lemah,terlalu santai yang kualitas cintanya tak baik untuk diperebutkan wanita baik di negeri ini. 

Kamu lagi melanjutkannya dengan menceramahiku habis-habisan dan hasilnya untukku, aku sama sekali tak mendengarkan soal apa yang kamu bicarakan ini dan hanya teliti memandangi wajahmu. Memperhatikan naik turunnya alismu, memperhatikan cepatnya gerakan bibirmu yang sedang memarahiku. 

Sesekali juga kamu mengatur jilbabmu yang menurutmu mungkin berantakan karena kamu terlalu banyak bicara. CANTIK! Definisi itu saja yang bisa ku gambarkan sekarang saat sedang menetapmu sedekat ini, seserius ini.

Dan setelah kamu selesai menceramahiku, memarahiku, yang kulakukan cepat-cepat memalingkan wajah dari hadapanmu. Menatap ke arah lain dengan seolah-olah disana ada objek yang menarik untuk di lihat. Padahal untuk alasan pemandangan yang paling indah yang menenangkan jiwa bagiku, semua ada di parasmu. Se-la-lu !

Alasan aku memalingkan wajah darimu simple saja. Bukan tidak menghormati atau tidak begitu suka dengan gaya bicaramu atau apapun itu. Tapi aku (hatiku) tak cukup kuat untuk memandangimu lebih lama jika kamu sudah diam dan tidak bicara seperti ini. Jadi jika nanti kamu melihatku yang pura-pura sedang mengusap dada dengan tangan kananku, itu artinya aku sedang mengelus pelan dadaku yang detakannya mulai di batas kewajaran dan itu rasanya tak enak sekali. Sungguh.

Permasalahannya sekarang bukan aku yang malas mencari pacar juga menganggap pernikahan itu tak begitu penting. Tapi salahnya itu ada disini. Dihatiku. Salahnya ketika aku mencintaimu dan aku tak cukup berani untuk mengatakannya hingga perasaan ini berlanjut selama ini.

Sampai pada suatu ketika aku nemenukan perasaanmu yang sebenarnya. Dua hari yang lalu kamu memintaku untuk menemuimu dengan alasan ada yang ingin kamu ceritakan. Aku juga berpendapat hal sama. Karena bagaimana jika hari ini saja aku berbicara sejujur mungkin dihadapanmu tentang aku yang diam-diam bersembunyi dibalik layarmu. mencintaimu.

Aku menemuimu. Saat itu kamu mengenakan baju terusan berwarna pink dan jilbab berwarna putih bermotif pink juga. Dengan makeup yang menurutku hari ini kamu tampak cantik dari biasanya.
(ah..mungkin saja karena hari ini kamu ingin menemuiku makanya dandananmu secantik ini) pikirku.

Kita bertemu disalah satu tempat favorit kita. Berviewkan pantai ditemani mocca float kesukaanmu dan tanpa coffe hangat kesukaanku. Kamu mulai bercerita karena aku sengaja agar biar disekmen ini kamu saja dulu yang mulai membuka percakapan.

“aku jatuh cinta…” katamu sambil menatap ke arahku. Seolah di dalam matamu ada jawaban namaku disana.

Aku tersenyum. Kali ini lebih berani menatap wajahmu. Kamu melanjutkan pembicaran ini, sekitar dua detik melihat ke arah pantai,menarik sedikit nafas lalu memandangiku lagi. Dan melanjutkan kembali…

Dan setelah kamu menceritakannya, aku masih berusaha untuk tetap tenang sembari mencari-cari soal mengapa tidak ada namaku didalam ceritamu ini ? yang kamu ceritakan sekarang tidak serupa seperti yang ingin aku ceritakn nanti padamu. Perbedaannya didalam ceritaku ada namamu dan didalam ceritamu tidak ada namaku sama sekali melainkan hanya ada kata “dia”.

Dia yang katamu pria yang baik,tegas,dewasa,jujur terhadap perasaan dan terpenting lagi katamu dia berbeda dengan pria lain karena dia berani untuk bertemu dengan orang tuamu untuk sekaligus melamarmu. 

Ini kali pertama aku melihatmu berbicara dengan ekspresi wajah yang bahagia dengan mata yang berkaca-kaca. Lalu kamu menitihkan air mata saking bahagianya kamu menceritakan ini padaku. Cintahkah? Ia kamu mencintainya. Itu yang ku lihat dari ekspresi wajahmu sekarang.

Kamu memelukku. Aku pun memelukmu untuk yang kedua kalinya setelah acara wisudamu setahun yang lalu. Aku memelukmu sembari mengusap pelan kepalamu. Kamu menangis dipelukanku dengan sesekali berkata, aku bahagiaaa.. 

yaa aku tahuu itu..
 
Aku juga ikut menangis. Rasanya hari itu seperti kita akan berpisah jauh dan tak’kan pernah saling menyapa lagi. Lalu aku merasakan ini, seperti ada pukulan keras yang menancap bebas dihatiku. Rasanya nyeri, sungguh. Tapi aku coba menenangkannya agar kamu tak bisa tahu sebelah mana hatiku yang sakit.

Aku terus memelukmu. Kali ini lebih lama. Bahkan ketika kamu ingin melepaskan diri aku tetap saja menahanmu dengan terus memelukmu dan menangis sejadi-jadinya.

Aku menyesalinya. Sungguh. Tentang kenapa aku yang tidak seberani dirinya. Aku menyesalinya. Sungguh. Tapi aku sama sekali tidak menyalahkanmu, juga ini bukan kesalahanmu. Tapi ini kebodohan terbesarku yang untuk merebut hatimu saja aku tidak bisa. Aku menyesalinya. Sungguh.

Dan saat air mata kita sudah sama-sama berhenti kamu menanyakan kembali, soal apa yang ingin aku ceritakan padamu. Sekitar tiga detik aku diam. Mengusap dadaku yang nyerinya berasa kembali, sembari menjawab,  

“aku sedang jatuh cinta. Sudah lama pada seseorang. Dia sama sepertimu,tapi nanti saja kuceritakan kembali kalau nanti dia mau ikhlas menerimaku”.

Kamu hanya tersenyum. Memandangiku dengan tatapan yang lirih seperti sudah mengerti maksud dari jawabanku tadi.

Kamu memelukku sekali lagi. Aku membiarkannya dengan menahan tambungan air mata yang tertahan dipelipis kedua mataku. Lalu setelah itu kamu melepaskannya, mengambil tasmu, meninggalkan minumanmu yang masih tersisa banyak. Lalu pergi begitu saja tanpa memintaku untuk mengantarmu pulang seperti biasanya.

Aku membiarkanmu pergi. Kali ini aku tidak menahanmu. Membiarkanmu berjalan sejauh mungkin hingga warna pakaianmu tak bisa ku jangkau dengan kedua mataku. Aku membiarkanmu pergi dengan sedikit menebak bahwa kamu pasti mengerti apa yang terjadi disini, dihatiku. (Selepas hari itu).