Jumat, 17 Oktober 2014

Dan (Selepas hari itu)..



Kapanpun kamu memintaku untuk datang atau sekedar menemanimu, aku selalu saja ‘bisa’ mengabulkannya. Walaupun mungkin ajakanmu biasa saja hanya seperti; menemanimu ke toko buku terdekat, makan siang bersama dicafe dekat kantormu, nonton bioskop atau sekedar duduk santai bersama menikmati terbenamnya senja ditemani dengan secangkir coffee dan mocca floot kesukaanmu.

Aku selalu bisa. Bahkan jika kamu selalu berkata, “Kalau kamu sibuk,tak mengapa nanti saja baru kamu menemaniku” maka kalimat responku selalu saja kalimat ini, “Oh..tak mengapa, ini juga ajakanmu sama sekali tak mengganggu pekerjaanku”.

Dan setelah itu aku ketagihan melakukannya. Lebih sering menyempatkan waktu bersama dan efeknya membuat aku semakin jatuh hati terhadapmu. Hanya sialnya aku ini tak seberani pria-pria diluar sana yang katamu beberapa kali nekat menyatakan cinta meski baru dua hari kenalan.

Dan lebih sialnya lagi kadang pertanyaan becandamu itu tidak cukup baik untuk hatiku yang selemah ini. Kadang-kadang kamu selalu bertingkah lucu (menurutmu) dan sering saja bertanya;

“ mereka saja yang baru mengenaliku sudah berani mati-matian mengejar perhatianku. Sampai rela-rela buang malu untuk menyatakan cinta meski ditolak. Nah kamu? Yang sudah dua tahun ini bersamaku, menemaniku mengelilingi kota ini, tidakkah kamu melakukan hal yang sama seperti mereka?”

Lalu setelah itu yang kamu lakukan hanya tertawa sekeras mungkin. Dan aku, yang kulakukan hanya berpura-pura memalingkan wajahku kearah lain, berusaha ikut tertawa walau kedengarannya kecil agar kamu tahu aku sedang tidak salah tingkah dengan perkataanmu tadi. (Hmm.. kamu selalu saja bercanda sesukamu).

Dan seingatku juga ada beberapa kali kamu menanyakan soal ini kepadaku, 

"Kenapa masih belum punya pacar juga ?”

Dan jawabanku, “Masih belum nemu yang di-mau-in hati” sambil tertawa kecil tanpa menatap wajahmu.

Padahal kamu tak tahu, jika aku bisa sedikit berani berbicara padamu, jika aku sedikit bisa mengungkapkannya padamu, maka aku tak perlu lagi harus menjawab dengan siapa aku harus bersama juga kamu tak perlu bertanya karena jawabannya sudah pasti tentu “kamu”.

Dan kamu juga sempat sekali bertanya soal ini dengan ekspresi wajah yang teramat serius seperti ingin meminta pendapat dariku. Soal pertanyaan;
 
“Kapan kamu punya rencana untuk menikah ?”

“Tergantung! Tak Pasti! Ah.. sudahlah…” jawabku berupaya sedikit terlihat cuek dengan pertanyaanmu ini yang menurutku mulai memancing detakan jantungku yang lajunya kan mulai tak wajar.

Dan responmu kali ini sedikit berbeda. Bukan lagi menertawaiku ataupun jawaban konyol lainnya. Tapi sedikit memarahiku karena (menurutmu), aku salah satu pria yang tak tegas, lemah,terlalu santai yang kualitas cintanya tak baik untuk diperebutkan wanita baik di negeri ini. 

Kamu lagi melanjutkannya dengan menceramahiku habis-habisan dan hasilnya untukku, aku sama sekali tak mendengarkan soal apa yang kamu bicarakan ini dan hanya teliti memandangi wajahmu. Memperhatikan naik turunnya alismu, memperhatikan cepatnya gerakan bibirmu yang sedang memarahiku. 

Sesekali juga kamu mengatur jilbabmu yang menurutmu mungkin berantakan karena kamu terlalu banyak bicara. CANTIK! Definisi itu saja yang bisa ku gambarkan sekarang saat sedang menetapmu sedekat ini, seserius ini.

Dan setelah kamu selesai menceramahiku, memarahiku, yang kulakukan cepat-cepat memalingkan wajah dari hadapanmu. Menatap ke arah lain dengan seolah-olah disana ada objek yang menarik untuk di lihat. Padahal untuk alasan pemandangan yang paling indah yang menenangkan jiwa bagiku, semua ada di parasmu. Se-la-lu !

Alasan aku memalingkan wajah darimu simple saja. Bukan tidak menghormati atau tidak begitu suka dengan gaya bicaramu atau apapun itu. Tapi aku (hatiku) tak cukup kuat untuk memandangimu lebih lama jika kamu sudah diam dan tidak bicara seperti ini. Jadi jika nanti kamu melihatku yang pura-pura sedang mengusap dada dengan tangan kananku, itu artinya aku sedang mengelus pelan dadaku yang detakannya mulai di batas kewajaran dan itu rasanya tak enak sekali. Sungguh.

Permasalahannya sekarang bukan aku yang malas mencari pacar juga menganggap pernikahan itu tak begitu penting. Tapi salahnya itu ada disini. Dihatiku. Salahnya ketika aku mencintaimu dan aku tak cukup berani untuk mengatakannya hingga perasaan ini berlanjut selama ini.

Sampai pada suatu ketika aku nemenukan perasaanmu yang sebenarnya. Dua hari yang lalu kamu memintaku untuk menemuimu dengan alasan ada yang ingin kamu ceritakan. Aku juga berpendapat hal sama. Karena bagaimana jika hari ini saja aku berbicara sejujur mungkin dihadapanmu tentang aku yang diam-diam bersembunyi dibalik layarmu. mencintaimu.

Aku menemuimu. Saat itu kamu mengenakan baju terusan berwarna pink dan jilbab berwarna putih bermotif pink juga. Dengan makeup yang menurutku hari ini kamu tampak cantik dari biasanya.
(ah..mungkin saja karena hari ini kamu ingin menemuiku makanya dandananmu secantik ini) pikirku.

Kita bertemu disalah satu tempat favorit kita. Berviewkan pantai ditemani mocca float kesukaanmu dan tanpa coffe hangat kesukaanku. Kamu mulai bercerita karena aku sengaja agar biar disekmen ini kamu saja dulu yang mulai membuka percakapan.

“aku jatuh cinta…” katamu sambil menatap ke arahku. Seolah di dalam matamu ada jawaban namaku disana.

Aku tersenyum. Kali ini lebih berani menatap wajahmu. Kamu melanjutkan pembicaran ini, sekitar dua detik melihat ke arah pantai,menarik sedikit nafas lalu memandangiku lagi. Dan melanjutkan kembali…

Dan setelah kamu menceritakannya, aku masih berusaha untuk tetap tenang sembari mencari-cari soal mengapa tidak ada namaku didalam ceritamu ini ? yang kamu ceritakan sekarang tidak serupa seperti yang ingin aku ceritakn nanti padamu. Perbedaannya didalam ceritaku ada namamu dan didalam ceritamu tidak ada namaku sama sekali melainkan hanya ada kata “dia”.

Dia yang katamu pria yang baik,tegas,dewasa,jujur terhadap perasaan dan terpenting lagi katamu dia berbeda dengan pria lain karena dia berani untuk bertemu dengan orang tuamu untuk sekaligus melamarmu. 

Ini kali pertama aku melihatmu berbicara dengan ekspresi wajah yang bahagia dengan mata yang berkaca-kaca. Lalu kamu menitihkan air mata saking bahagianya kamu menceritakan ini padaku. Cintahkah? Ia kamu mencintainya. Itu yang ku lihat dari ekspresi wajahmu sekarang.

Kamu memelukku. Aku pun memelukmu untuk yang kedua kalinya setelah acara wisudamu setahun yang lalu. Aku memelukmu sembari mengusap pelan kepalamu. Kamu menangis dipelukanku dengan sesekali berkata, aku bahagiaaa.. 

yaa aku tahuu itu..
 
Aku juga ikut menangis. Rasanya hari itu seperti kita akan berpisah jauh dan tak’kan pernah saling menyapa lagi. Lalu aku merasakan ini, seperti ada pukulan keras yang menancap bebas dihatiku. Rasanya nyeri, sungguh. Tapi aku coba menenangkannya agar kamu tak bisa tahu sebelah mana hatiku yang sakit.

Aku terus memelukmu. Kali ini lebih lama. Bahkan ketika kamu ingin melepaskan diri aku tetap saja menahanmu dengan terus memelukmu dan menangis sejadi-jadinya.

Aku menyesalinya. Sungguh. Tentang kenapa aku yang tidak seberani dirinya. Aku menyesalinya. Sungguh. Tapi aku sama sekali tidak menyalahkanmu, juga ini bukan kesalahanmu. Tapi ini kebodohan terbesarku yang untuk merebut hatimu saja aku tidak bisa. Aku menyesalinya. Sungguh.

Dan saat air mata kita sudah sama-sama berhenti kamu menanyakan kembali, soal apa yang ingin aku ceritakan padamu. Sekitar tiga detik aku diam. Mengusap dadaku yang nyerinya berasa kembali, sembari menjawab,  

“aku sedang jatuh cinta. Sudah lama pada seseorang. Dia sama sepertimu,tapi nanti saja kuceritakan kembali kalau nanti dia mau ikhlas menerimaku”.

Kamu hanya tersenyum. Memandangiku dengan tatapan yang lirih seperti sudah mengerti maksud dari jawabanku tadi.

Kamu memelukku sekali lagi. Aku membiarkannya dengan menahan tambungan air mata yang tertahan dipelipis kedua mataku. Lalu setelah itu kamu melepaskannya, mengambil tasmu, meninggalkan minumanmu yang masih tersisa banyak. Lalu pergi begitu saja tanpa memintaku untuk mengantarmu pulang seperti biasanya.

Aku membiarkanmu pergi. Kali ini aku tidak menahanmu. Membiarkanmu berjalan sejauh mungkin hingga warna pakaianmu tak bisa ku jangkau dengan kedua mataku. Aku membiarkanmu pergi dengan sedikit menebak bahwa kamu pasti mengerti apa yang terjadi disini, dihatiku. (Selepas hari itu).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

selesai membaca, ayo tinggalkan kritik dan saran teman-teman :)