“Aku tidak bahagia ! Apa kamu
mengerti ? Aku tidak pernah merasa bahagia bersamamu !!!”
Emosiku tiba-tiba saja menurun
saat mendengarmu berkata bahwa hampir lima tahun perjalanan rumah tangga kita
tanpa ada rasa bahagiamu sama sekali. Kedua bola mataku berkaca-kaca, seperti
rasanya mulai memanas dan ingin mengeluarkan air mata tapi ahh.. jangan dulu aku masih terlalu kuat untuk terlihat baik-baik
saja di hadapanmu.
Aku menatapmu lebih dalam lagi,
berusaha sekuat mungkin mencari jawaban soal apa yang kamu katakan tadi
hanyalah emosi sesaat atau memang itu ungkapan hatimu yang sesungguhnya di lima
tahun rumah tangga kita ini. Aku menatapmu, lagi. Dan kamu hanya memalingkan
wajahmu, berjalan mendekati arah lemari pakaian kita, mengeluarkan koper
besarmu dan hampir semua baju-bajumu terkunci rapat di tas hitam itu. Aku berupaya
menenangkanmu, meminta maaf padamu, membujukmu dengan beribu kata hanya demi
alasan untuk jangan meninggalkan rumah, aku juga putra kita. Aku juga sempat
berlutut dihadapanmu, membuang jauh wibawaku sebagai seorang suami hanya karena
ingin mempertahankanmu tapi rasanya bahagiamu bukan disini, tapi ditempat lain.
Air mataku tak kunjung
tertahankan juga, aku menangis dihadapanmu sejadi-jadinya. Tak lelah-lelahnya
membujukmu untuk jangan pergi dan menceritakan apa yang menjadi alasanmu merasa
tak bahagia hidup bersamaku. Kamu terus memarahiku, membentakku dan mengatakan
bahwa kesibukanku dari awal pernikahan yang membuatmu jenuh dengan pernikahan
kita. Tapi sayang.. bukankah dari pagi hingga malam aku bersusah payah diluar
rumah hanya karena untuk menyanggupi kebutuhanmu ? bukankah selama ini aku
setuju-setuju saja jika biaya belanjamu perbulan melebihi pendapatanku sebulan
hingga aku saat weekand harus bekerja sampingan hanya karena ingin
menyenangkanmu ? bukankah selama ini aku tak membatasi ruang lingkup pergaulan
bersama teman-teman akrabmu ? bukankah selama ini pula aku hanya kan berdiam
diri saja, mencoba mengerti saat tiap pulang kantor makanan yang kamu sajikan
untukku hanya nasi dingin, telur dan mie instan ? lalu kurang sabar apa lagi
aku mengertimu, mencintaimu ?
Dan kamu meneruskan kata-katamu
lagi, bahwa sejak awal perjodohan kita kamu sudah merasa tak bahagia saat harus
menikah bersamaku. Dan diluar sana ada sosok yang lebih bisa membahagiakanmu
(katamu).
Detak jantungku berdetak tak beraturan saat mendengar kalimat
terakhirmu itu, rasanya ingin menamparmu saja tapi sudahlah cintaku ini padamu
sudah diluar batas kewarasan. Jadi apapun sakit yang kamu ciptakan untukku saat
ini, biarlah menjadi kado terburukku sekarang karena sudah salah mendidikmu
menjadi istri dan seorang Ibu yang soleha.
Pergilah….
Kali ini aku tak akan menahan
langkahmu lagi.
Pergilah….
Jika bisa jangan pernah
memalingkan wajah ke arahku hanya karena rasa kasihan atau karena Priamu itu
nanti tak bisa mencintaimu seperti aku mencintaimu di lima tahun terakhir ini.
Pergilah….
Karena cinta bagiku saat bisa
melihatmu bahagia sebahagia mungkin meski bukan bersamaku.
Jadi sayang… pergilah….