Kapanpun kamu memintaku untuk datang atau sekedar
menemanimu, aku selalu saja ‘bisa’
mengabulkannya. Walaupun mungkin ajakanmu biasa saja hanya seperti; menemanimu
ke toko buku terdekat, makan siang bersama dicafe dekat kantormu, nonton
bioskop atau sekedar duduk santai bersama menikmati terbenamnya senja ditemani
dengan secangkir coffee dan mocca floot kesukaanmu.
Aku selalu bisa. Bahkan jika kamu selalu berkata, “Kalau kamu sibuk,tak mengapa nanti saja
baru kamu menemaniku” maka kalimat responku selalu saja kalimat ini, “Oh..tak mengapa, ini juga ajakanmu sama
sekali tak mengganggu pekerjaanku”.
Dan setelah itu aku ketagihan melakukannya. Lebih sering
menyempatkan waktu bersama dan efeknya membuat aku semakin jatuh hati
terhadapmu. Hanya sialnya aku ini tak seberani pria-pria diluar sana yang
katamu beberapa kali nekat menyatakan cinta meski baru dua hari kenalan.
Dan lebih sialnya lagi kadang pertanyaan becandamu itu tidak
cukup baik untuk hatiku yang selemah ini. Kadang-kadang kamu selalu bertingkah
lucu (menurutmu) dan sering saja
bertanya;
“ mereka saja yang
baru mengenaliku sudah berani mati-matian mengejar perhatianku. Sampai
rela-rela buang malu untuk menyatakan cinta meski ditolak. Nah kamu? Yang sudah
dua tahun ini bersamaku, menemaniku mengelilingi kota ini, tidakkah kamu
melakukan hal yang sama seperti mereka?”
Lalu setelah itu yang kamu lakukan hanya tertawa sekeras
mungkin. Dan aku, yang kulakukan hanya berpura-pura memalingkan wajahku kearah
lain, berusaha ikut tertawa walau kedengarannya kecil agar kamu tahu aku sedang
tidak salah tingkah dengan perkataanmu tadi.
(Hmm.. kamu selalu saja bercanda sesukamu).
Dan seingatku juga ada beberapa kali kamu menanyakan soal
ini kepadaku,
"Kenapa masih belum punya
pacar juga ?”
Dan jawabanku, “Masih
belum nemu yang di-mau-in hati” sambil tertawa kecil tanpa menatap wajahmu.
Padahal kamu tak tahu, jika aku bisa sedikit berani
berbicara padamu, jika aku sedikit bisa mengungkapkannya padamu, maka aku tak
perlu lagi harus menjawab dengan siapa aku harus bersama juga kamu tak perlu
bertanya karena jawabannya sudah pasti tentu “kamu”.
Dan kamu juga sempat sekali bertanya soal ini dengan
ekspresi wajah yang teramat serius seperti ingin meminta pendapat dariku. Soal pertanyaan;
“Kapan kamu punya rencana untuk menikah
?”
“Tergantung! Tak
Pasti! Ah.. sudahlah…” jawabku berupaya sedikit terlihat cuek dengan pertanyaanmu
ini yang menurutku mulai memancing detakan jantungku yang lajunya kan mulai tak
wajar.
Dan responmu kali ini sedikit berbeda. Bukan lagi
menertawaiku ataupun jawaban konyol lainnya. Tapi sedikit memarahiku karena (menurutmu), aku salah satu pria yang tak
tegas, lemah,terlalu santai yang kualitas cintanya tak baik untuk diperebutkan
wanita baik di negeri ini.
Kamu lagi melanjutkannya dengan menceramahiku
habis-habisan dan hasilnya untukku, aku sama sekali tak mendengarkan soal apa
yang kamu bicarakan ini dan hanya teliti memandangi wajahmu. Memperhatikan naik
turunnya alismu, memperhatikan cepatnya gerakan bibirmu yang sedang memarahiku.
Sesekali juga kamu mengatur jilbabmu yang menurutmu mungkin berantakan karena
kamu terlalu banyak bicara. CANTIK!
Definisi itu saja yang bisa ku gambarkan sekarang saat sedang menetapmu sedekat
ini, seserius ini.
Dan setelah kamu selesai menceramahiku, memarahiku, yang
kulakukan cepat-cepat memalingkan wajah dari hadapanmu. Menatap ke arah lain
dengan seolah-olah disana ada objek yang menarik untuk di lihat. Padahal untuk
alasan pemandangan yang paling indah yang menenangkan jiwa bagiku, semua ada di
parasmu. Se-la-lu !
Alasan aku memalingkan wajah darimu simple saja. Bukan tidak
menghormati atau tidak begitu suka dengan gaya bicaramu atau apapun itu. Tapi
aku (hatiku) tak cukup kuat untuk
memandangimu lebih lama jika kamu sudah diam dan tidak bicara seperti ini. Jadi
jika nanti kamu melihatku yang pura-pura sedang mengusap dada dengan tangan
kananku, itu artinya aku sedang mengelus pelan dadaku yang detakannya mulai di
batas kewajaran dan itu rasanya tak enak sekali. Sungguh.
Permasalahannya sekarang bukan aku yang malas mencari pacar
juga menganggap pernikahan itu tak begitu penting. Tapi salahnya itu ada disini.
Dihatiku. Salahnya ketika aku mencintaimu dan aku tak cukup berani untuk
mengatakannya hingga perasaan ini berlanjut selama ini.
Sampai pada suatu ketika aku nemenukan perasaanmu yang
sebenarnya. Dua hari yang lalu kamu memintaku untuk menemuimu dengan alasan ada
yang ingin kamu ceritakan. Aku juga berpendapat hal sama. Karena bagaimana jika
hari ini saja aku berbicara sejujur mungkin dihadapanmu tentang aku yang
diam-diam bersembunyi dibalik layarmu. mencintaimu.
Aku menemuimu. Saat itu kamu mengenakan baju terusan
berwarna pink dan jilbab berwarna putih bermotif pink juga. Dengan makeup yang
menurutku hari ini kamu tampak cantik dari biasanya.
(ah..mungkin saja
karena hari ini kamu ingin menemuiku makanya dandananmu secantik ini)
pikirku.
Kita bertemu disalah satu tempat favorit kita. Berviewkan
pantai ditemani mocca float kesukaanmu dan tanpa coffe hangat kesukaanku. Kamu
mulai bercerita karena aku sengaja agar biar disekmen ini kamu saja dulu yang
mulai membuka percakapan.
“aku jatuh cinta…”
katamu sambil menatap ke arahku. Seolah di dalam matamu ada jawaban namaku
disana.
Aku tersenyum. Kali ini lebih berani menatap wajahmu. Kamu
melanjutkan pembicaran ini, sekitar dua detik melihat ke arah pantai,menarik
sedikit nafas lalu memandangiku lagi. Dan melanjutkan kembali…
Dan setelah kamu menceritakannya, aku masih berusaha untuk
tetap tenang sembari mencari-cari soal mengapa tidak ada namaku didalam
ceritamu ini ? yang kamu ceritakan sekarang tidak serupa seperti yang ingin aku
ceritakn nanti padamu. Perbedaannya didalam ceritaku ada namamu dan didalam
ceritamu tidak ada namaku sama sekali melainkan hanya ada kata “dia”.
Dia yang katamu pria yang baik,tegas,dewasa,jujur terhadap
perasaan dan terpenting lagi katamu dia berbeda dengan pria lain karena dia
berani untuk bertemu dengan orang tuamu untuk sekaligus melamarmu.
Ini kali
pertama aku melihatmu berbicara dengan ekspresi wajah yang bahagia dengan mata
yang berkaca-kaca. Lalu kamu menitihkan air mata saking bahagianya kamu
menceritakan ini padaku. Cintahkah? Ia kamu mencintainya. Itu yang ku lihat
dari ekspresi wajahmu sekarang.
Kamu memelukku. Aku pun memelukmu untuk yang kedua kalinya
setelah acara wisudamu setahun yang lalu. Aku memelukmu sembari mengusap pelan
kepalamu. Kamu menangis dipelukanku dengan sesekali berkata, aku bahagiaaa..
yaa aku tahuu itu..
Aku juga ikut menangis. Rasanya hari itu seperti kita akan
berpisah jauh dan tak’kan pernah saling menyapa lagi. Lalu aku merasakan ini,
seperti ada pukulan keras yang menancap bebas dihatiku. Rasanya nyeri, sungguh.
Tapi aku coba menenangkannya agar kamu tak bisa tahu sebelah mana hatiku yang
sakit.
Aku terus memelukmu. Kali ini lebih lama. Bahkan ketika kamu
ingin melepaskan diri aku tetap saja menahanmu dengan terus memelukmu dan
menangis sejadi-jadinya.
Aku menyesalinya. Sungguh. Tentang kenapa aku yang tidak
seberani dirinya. Aku menyesalinya. Sungguh. Tapi aku sama sekali tidak menyalahkanmu,
juga ini bukan kesalahanmu. Tapi ini kebodohan terbesarku yang untuk merebut
hatimu saja aku tidak bisa. Aku menyesalinya. Sungguh.
Dan saat air mata kita sudah sama-sama berhenti kamu
menanyakan kembali, soal apa yang ingin aku ceritakan padamu. Sekitar tiga
detik aku diam. Mengusap dadaku yang nyerinya berasa kembali, sembari menjawab,
“aku sedang jatuh cinta. Sudah lama pada
seseorang. Dia sama sepertimu,tapi nanti saja kuceritakan kembali kalau nanti
dia mau ikhlas menerimaku”.
Kamu hanya tersenyum. Memandangiku dengan tatapan yang lirih
seperti sudah mengerti maksud dari jawabanku tadi.
Kamu memelukku sekali lagi. Aku membiarkannya dengan menahan
tambungan air mata yang tertahan dipelipis kedua mataku. Lalu setelah itu kamu
melepaskannya, mengambil tasmu, meninggalkan minumanmu yang masih tersisa
banyak. Lalu pergi begitu saja tanpa memintaku untuk mengantarmu pulang seperti
biasanya.
Aku membiarkanmu pergi. Kali ini aku tidak menahanmu.
Membiarkanmu berjalan sejauh mungkin hingga warna pakaianmu tak bisa ku jangkau
dengan kedua mataku. Aku membiarkanmu pergi dengan sedikit menebak bahwa kamu
pasti mengerti apa yang terjadi disini, dihatiku. (Selepas hari itu).