Selasa, 19 Agustus 2014

Bayangkan,Rasakan..



Coba kamu bayangkan ini, bagaimana rasanya menjadi aku yang masih berusaha mempertahankan rumah tangga kita tapi yang kamu lakukan malah menyuruhku untuk menyerah saja atas apa yang sudah kita perjuangkan selama 10 tahun lebih ini. 

Coba kamu bayangkan,rasakan bagaimana rasanya menjadi hatiku yang harus menahan pedihnya hati saat kedua anak kita terus bertanya “Ibu dimana Ayah ?”. Lalu untuk kesekian kalinya aku harus membohongi hatiku dan menyakinkan kedua buah cinta kita dengan jawaban bahwa semuanya kan baik-baik saja. 

Coba kamu bayangkan,rasakan bagaimana rasanya menjadi jiwaku yang sudah lebih dari tiga bulan terakhir  ini seperti Pria bodoh yang mencari keberadaanmu untuk balik pulang kerumah bersamaku. Coba kamu bayangkan,rasakan sedikit saja.

Coba kamu bayangkan,rasakan bagaimana dulu perjuang kita berdua agar bisa menjadi sepasang suami istri. Membangun rumah tangga sejak gaji perbulanku masih berkisar sejuta untuk satu bulan. Lalu kamu menerima segala kekuranganku, meninggalkan segala fasilitas  mewahmu juga mengabaikan larangan kedua orang tuamu untuk hidup bersamaku di tengah kondisi keuanganku tak selayak dengan ekonomi keluargamu.

Coba kamu bayangkan,rasakan kembali bagaimana dulunya kita sama-sama saling menguatkan bahwa kita kan tetap selalu bersama apapun yang terjadi. Aku yang pagi,siang,malam bekerja keras untuk keluarga kita demi membuktikan kepada keluargamu bahwa aku bisa menafkahimu lahir dan batin.

Coba kamu bayangkan, rasakan bagaimana dulu aku begitu yakin terhadapmu bahwa kamu tak’an pernah meninggalkanku,aku pula tak meninggalkanmu dan kita sama-sama sepakat untuk tidak saling menyakiti ataupun melepaskan.

Coba kamu bayangkan, rasakan sedikit saja.

Jika bukan aku lagi alasanmu kembali lagi ke rumah ini, setidaknya kamu bisa memakai alasan “untuk kedua anak kita” sebagai jalanmu untuk kembali pulang.

Aku kan menerimamu dengan ikhlas. Tanpa mempermasalakan segala fitnah yang memberitakan bahwa kamu sudah hidup seatap dengan salah seorang pejabat muda itu.
Pulanglah, bukan untukku tapi untuk anak kita. Aku juga kan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi seperti yang kamu inginkan. Aku juga tidak kan menyalahkanmu dalam hal ini. 
Hanya cukup sedikit kamu bayangkan saja, rasakan saja bagaimana rasanya menjadi aku,hatiku.

Tapi jika tidak bisa untuk kamu bayangkan atau rasa saja tak mengapa. Aku mengerti.



*fiksi ini terinspirasi dari lagunya Maudy Ayunda-Bayangkan Rasakan*

Rabu, 06 Agustus 2014

Menit-menit terakhir (Melepaskanmu)

Ini menit-menit terakhir aku melepaskanmu. Membuang habis semua tentangmu yang setahuku juga pendapat orang-orang di sekitarku, bahwa kamu tak pantas untuk ku-per-juang-kan selama ini.
Dulu kita pernah sama-sama melakukan kesalahan. Aku memaafkanmu, kamu juga memaafkanku. Dulu juga kita selalu saja saling mendukung hal terbaik apapun yang kita lakukan. Baik itu dilakukan secara bersama ataupun sebaliknya.
Dulu juga kita bukan hanya menjadi sepasang pasangan tapi menjadi sepasang sahabat yang dimana segala keluh,kesah bahkan bahagiapun sama-sama selalu kita berbagi bersama.

Ya, itu dulu. Tiga tahun terakhir sebelum kita sama-sama memutuskan untuk saling berpisah tiga bulan yang lalu.

Entah siapa yang harus disalahkan juga siapa yang harus duluan meminta maaf. Pada intinya alasan pertama kita berpisah karena kamu sebagai pria tidak begitu tegas untuk menentukan sikap dan keputusan soal kapan kita akan menikah! Dan katamu, salahku dari menurut analisamu; aku tidak bisa menunggumu, tidak bisa kerja sama denganmu, tidak dewasa dan tidak bisa berjuang untuk hubungan kita. Lalu menurutmu, apa selama kurang lebih tiga tahun aku bersamamu bukankah itu alasan bahwa selama itu aku menunggumu ? bukankah itu termasuk alasan yang penting aku menemanimu tumbuh menjadi pribadi yang seperti sekarang ini ? lalu katamu aku tidak berjuang ? KETERLALUAN!

Aku bodoh (saat itu). Mengharapkan seorang pria yang tak tegas sepertimu. Yang untuk memilih satu hati saja susah kamu lakukan apalagi untuk memilih pasangan hidupmu.
Aku bodoh (saat itu). Yang terus saja menangis dimasalah yang sama. Yang terus saja mengharapkanmu juga terus menyakinkan hatiku sendiri bahwa tak ada pria lain lagi selainmu.
Aku bodoh (saat itu). Yang terus membujukmu untuk kembali pulang ke rumahku (hatiku) tanpa berpikir caraku ini terkesan begitu murahan.
Aku bodoh (saat itu). Yang menentang keras saran keluargaku untuk berhenti saja mengharapkan pria sepertimu.
Aku bodoh, aku bodoh!! Ya, saat itu aku dibodohi perasaanku sendiri terhadapmu.


Lalu entah karena alasan apa, akupun mengerti apa maksud dari kata ‘menyerah saja’ yang terkhusus untukmu. Akupun paham mengapa kemarin itu Tuhan memberikanku kekecewaan yang besar karena ternyata di luar sana masih banyak lagi yang hatinya jauh melebihi ketulusanmu juga jauh melebihi ketegasanmu untuk tidak membuat Wanita menunggu dalam hubungan yang tak pasti.

Ini menit terakhir aku melepaskanmu. Membuang segala tentangmu. Dan entah demi alasan apapun aku tak lagi harus memintamu untuk kembali pulang.
Sudah cukup. Hatiku sudah terlalu lelah. Aku ingin lebih bahagia lagi dan bukan denganmu tapi dengan hati yang lebih baru lagi. 

Kelak jika Wanitamu itu menyakitimu dan kamu baru menyadari bahwa aku yang paling tulus mencintaimu, jangan mencariku lagi untuk memintaku pulang karena dulu sebelum hal itu terjadi aku sudah duluan menawarkanmu kembali tapi kamu mengabaikannya. Tapi sudahlah. Kamu pasti kan lebih berbahagia sekarang. Lebih bahagia lagi. Dan aku pun memutuskan untuk lebih berbahagia lagi disaat kamu tak harus ada di genggamanku.

Kamis, 05 September 2013

Pergilah...

“Aku tidak bahagia ! Apa kamu mengerti ? Aku tidak pernah merasa bahagia bersamamu !!!”

Emosiku tiba-tiba saja menurun saat mendengarmu berkata bahwa hampir lima tahun perjalanan rumah tangga kita tanpa ada rasa bahagiamu sama sekali. Kedua bola mataku berkaca-kaca, seperti rasanya mulai memanas dan ingin mengeluarkan air mata tapi ahh.. jangan dulu aku masih terlalu kuat untuk terlihat baik-baik saja di hadapanmu.

Aku menatapmu lebih dalam lagi, berusaha sekuat mungkin mencari jawaban soal apa yang kamu katakan tadi hanyalah emosi sesaat atau memang itu ungkapan hatimu yang sesungguhnya di lima tahun rumah tangga kita ini. Aku menatapmu, lagi. Dan kamu hanya memalingkan wajahmu, berjalan mendekati arah lemari pakaian kita, mengeluarkan koper besarmu dan hampir semua baju-bajumu terkunci rapat di tas hitam itu. Aku berupaya menenangkanmu, meminta maaf padamu, membujukmu dengan beribu kata hanya demi alasan untuk jangan meninggalkan rumah, aku juga putra kita. Aku juga sempat berlutut dihadapanmu, membuang jauh wibawaku sebagai seorang suami hanya karena ingin mempertahankanmu tapi rasanya bahagiamu bukan disini, tapi ditempat lain.

Air mataku tak kunjung tertahankan juga, aku menangis dihadapanmu sejadi-jadinya. Tak lelah-lelahnya membujukmu untuk jangan pergi dan menceritakan apa yang menjadi alasanmu merasa tak bahagia hidup bersamaku. Kamu terus memarahiku, membentakku dan mengatakan bahwa kesibukanku dari awal pernikahan yang membuatmu jenuh dengan pernikahan kita. Tapi sayang.. bukankah dari pagi hingga malam aku bersusah payah diluar rumah hanya karena untuk menyanggupi kebutuhanmu ? bukankah selama ini aku setuju-setuju saja jika biaya belanjamu perbulan melebihi pendapatanku sebulan hingga aku saat weekand harus bekerja sampingan hanya karena ingin menyenangkanmu ? bukankah selama ini aku tak membatasi ruang lingkup pergaulan bersama teman-teman akrabmu ? bukankah selama ini pula aku hanya kan berdiam diri saja, mencoba mengerti saat tiap pulang kantor makanan yang kamu sajikan untukku hanya nasi dingin, telur dan mie instan ? lalu kurang sabar apa lagi aku mengertimu, mencintaimu ?

Dan kamu meneruskan kata-katamu lagi, bahwa sejak awal perjodohan kita kamu sudah merasa tak bahagia saat harus menikah bersamaku. Dan diluar sana ada sosok yang lebih bisa membahagiakanmu (katamu). 

Detak jantungku berdetak tak beraturan saat mendengar kalimat terakhirmu itu, rasanya ingin menamparmu saja tapi sudahlah cintaku ini padamu sudah diluar batas kewarasan. Jadi apapun sakit yang kamu ciptakan untukku saat ini, biarlah menjadi kado terburukku sekarang karena sudah salah mendidikmu menjadi istri dan seorang Ibu yang soleha.

Pergilah….
Kali ini aku tak akan menahan langkahmu lagi.

Pergilah….
Jika bisa jangan pernah memalingkan wajah ke arahku hanya karena rasa kasihan atau karena Priamu itu nanti tak bisa mencintaimu seperti aku mencintaimu di lima tahun terakhir ini.

Pergilah….
Karena cinta bagiku saat bisa melihatmu bahagia sebahagia mungkin meski bukan bersamaku.


Jadi sayang… pergilah….